Posted by : Unknown
Sabtu, 02 April 2016
(wajib baca buat kamu yang rasis!) KELUARGAKU DULU CHINA KAFIR, SEPERTI KAU SERING TERIAKKAN
Oleh: Jaya Setiabudi
Tak ada yang bisa memilih, kita akan lahir di rahim siapa, berkulit apa, dan dimana.
Saya, 7 bersaudara:
6 Muslim, 1 Nasrani.
6 Muslim, 1 Nasrani.
5 orang menikah dengan ‘pribumi’.
Ayah masuk Islam di usia 73 tahun, setahun sebelum meninggal.
Ayah masuk Islam di usia 73 tahun, setahun sebelum meninggal.
Ibu masuk Islam tahun lalu, di usia 79 tahun.
Ayah dan Ibu suku Tionghoa atau Anda sering menyebut dengan ‘CHINA’.
Ayah dan Ibu suku Tionghoa atau Anda sering menyebut dengan ‘CHINA’.
Saya dan keluarga tak pernah teriak, “Si Kafir itu…” kepada siapapun. Kenapa?
Mau nyimak cerita saya?
Ayah saya adalah sosok nasionalis dan idealis tulen yang saya kenal. Cita-citanya menjadi ABRI tak terpenuhi, karena orang tua tak mengijinkan. Kakak pertama saya melanjutkan cita-cita itu sebagai ABRI. Kakak ketiga gagal menjadi ABRI, karena mata sedikit minus.
Jika ditanya, “Papah gak pengin jalan-jalan keluar negeri?”. Jawabnya, “Ngapain? Indonesia aja bagus, gak habis keliling Indonesia”.
18 tahun kerja di bank swasta, dengan prestasi terakhir menaikkan revenue perusahaan 20 kali lipat dalam 5 tahun menjabat, ‘dipaksa’ mengundurkan diri karena membela seorang karyawan baru ‘pribumi’, yang akan digeser oleh titipan direksi (tionghoa) yang rasialis.
Kemudian beliau melanjutkan kerja di usia 50 an, sebagai manajer keuangan di suatu
perkebunan di Lampung. Percakapan yang paling saya ingat saat berkunjung kesana, “Ya’ (panggilan saya), coba lihat, orang-orang (buruh) itu dibayar dibawah angka kebutuhannya (UMR).
Kalau mereka punya anak 3 atau lebih, gak akan cukup untuk hidup, maka mereka akan ‘maling’. Suatu saat, kalau kamu jadi bos, jangan pernah bayar karyawanmu dibawah angka kebutuhannya.”
5 tahun bekerja sebagai manajer keuangan, membuat ayah saya dikeluarkan, karena membongkar sindikat koruptor yang melibatkan adik pemilik perusahaan.
Saat malam terakhir di Lampung, saya mendampingi dan mendengar ta’mir (pengurus) masjid setempat berkata, “Kami sangat kehilangan Pak Untung (ayah saya). Selama Pak Untung disini, ibadah kami, Bapak permudah.
Pak Untung sudah seperti orang tua kami.”, air mata saya pun berlinang. Saat itu ayah saya belum memiliki agama, masih Kong Hu Cu (tradisi).
Di usia 55 tahun lebih, ayah melanjutkan bekerja di Purbalingga. Memilih tinggal di rumah penduduk dan mengembalikan fasilitas mobil sedan.
Saya pun bertanya, “Kenapa papah balikin mobil itu? Kan bisa dipakai buat transportasi?”.
Beliau menjawab, “Gak ahh, malu. Lha wong mereka (buruh) masih dibayar dibawah UMR, koq papah orang baru, udah pakai mobil mewah.
Gimana omongan papah akan didengar mereka?”.
Akankah Anda mengatakan “China Kafir” kepada ayah saya?
Sekarang kisah saya..
Di usia 7 tahun (1980), sejak pindah ke rumah yang ketiga, kami tinggal di lokasi yang berdekatan dengan kampung di kota Semarang.
Sungguh kaget, saat keluar rumah, anak kampung setempat berteriak, “CHINO..!!”, dan langsung mengejar kemudian memukuli saya bertubi-tubi. Bosan melarikan diri terus, saya mulai melawan. Mau gak mau belajar berkelahi.
Saat SD, kami sekeluarga disekolahkan di SD Katholik, alasan ayah saya, karena disiplinnya bagus. Namun ayah saya ingin anak-anaknya berbaur, maka saat SMP, kami semua masuk ke SMP negeri, dimana saat itu hanya 2 orang ‘keturunan’ satu angkatan.
Kami tak pernah merasa sebagai seorang ‘keturunan’. Ayah kami mendidik kami anti rasialis. Hal itu dibuktikan, ayah saya mengasuh seorang suku Bali, bernama I Gusti Made Gede, kuliah dan tinggal bersama kami selama 8 tahun.